NEWS : | WELCOME TO INFO INDONESIA NEWS. SELAMAT DATANG DI KABAR INFO INDONESIA. | JABABEKA : RATUSAN BURUH PT EMI LAKUKAN AKSI UNJUK RASA TUNTUT KESEJATERAAN. | PEMKAB BEKASI DI MINTA APINDO MEMPERMUDAH MENGURUS PERIJINAN. | CIKARANG KOTA :LANTARAN KEPINGIN DAGANGANNYA LARIS, SEORANG IBU MUDA AKHIRNYA DICABULI OLEH SANG DUKUN CABUL . | PENGURUS PK GOLKAR SIAP DUKUNG DARIF MULAYANA SEBAGAI CALON BUPATI BEKASI . | KOTA BEKASI : SINDIKAT PENCURI RUMAH KOSONG DITANGKAP POLRES METRO BEKASI BERIKUT SENJATA API.

Media dan Konflik Agama (mencari solusi apa memanas-manasi?)


JAKARTA-Terkait dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi dimasyarakat beberapa waktu be­lakangan, yang telah memakan korban jiwa, maka dibutuhkan banyak pihak untuk saling mena­han diri, dan saling menciptakan kembali kondisi yang harmonis antar pemeluk agama.
Salah satu pilar utama dalam membentuk opini publik adalah media baik elektronik maupun cetak. media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar. Dalam kaitannya peran dan fungsi media, dalam media memang memiliki kemampuan menciptakan image yang dah­syat. Dalam penciptaan image tersebut, biasanya beberapa as­pek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan ini pada gilirannya membuat konsumen baik pemir­sa atau pun pembaca tergerak melakukan sebuah tindakan ter­tentu atau sikap tertentu.
Dalam konteks kekerasan yang berbasis agama, terjadi se­lama ini media memiliki peran yang sangat penting. Contoh yang terjadi adalah ketika salah satu televisi swasta mengangkat  ke­kerasanyang terjadi terhadap je­maah ahmadiyah menjadi pokok ulasan, dengan pemerintah di­wakili menteri dalam negeri, ser­ta lemhanas dan dari pihak FPI. Tetapi ketika ada dominasi versi terhadap perkara maka tujuan­nya akan mengarah atau begeser dari fokus semula yakni mencari solusi dari suatu pertikaian men­jadi lain untuk berbicara tentang siapa siapa yang benar dan siapa yang salah.
Meski dalam dialog tersebut FPI terwakili untuk berbicara, namun pada kesempatan terpi­sah mereka menganggap bahwa dialog tersebut hanya memanas-manasi suasana bukan mencari akar persoalan nya.
Menurut Syahdan salah satu anggota FPI mengkritisi “dialog yang ada hanya berdebat siapa yang paling benar, dan malah justru mengadu domba kedua belah pihak karena pernyataan-pernyataan yang ada memanas­kan suasana”.Ujarnya
Disisi lain menyitir penda­pat Sirikit Syah (Ketua Lembaga Konsumen Media/ LKM-Medi­aWatch) menyatakan, “mestinya media massa terus mendorong pihak-pihak yang kompeten dan berotoritas, misalnya perguruan tinggi keislaman dan pemerin­tah, untuk menyelenggarakan diskusi terbuka tentang identitas dan status Ahmadiyah. Keberatan kalangan muslim fundamentalis kan karena Ahmadiyah mengaku Islam, namun menerapkan ban­yak hal yang tidak islami. Akar persoalan yang perlu digali oleh media massa (dengan mewawan­carai sumber-sumber yang valid dan kredibel) adalah: benarkah Ahmadiyah itu islam? Apakah Ahmadiyah menodai agama?”
“Sayang, media massa lebih suka menampilkan narasumber yang berkonflik, yang belum ten­tu berkompeten dan berotoritas. Untuk menyuarakan Ahmadiyah, misalnya, narasumbernya dari Pemerintah, Komnas HAM dan para LSM pembela HAM. Per­soalannya kemudian dibelokkan pada persoalan hak asasi manu­sia. Sama dengan kasus HKBP: persoalan digiring ke hak asasi manusia (dalam beribadah). Dua kasus yang amat berbeda akar persoalan dan berbeda latar be­lakang, oleh kalangan tertentu yang berkepentingan dan didu­kung media massa, digiring men­jadi persoalan ancaman terhadap HAM di Indonesia”.
“Di sinilah tantangan bagi media, mayoritas media di Indo­nesia menyajikan konflik SARA secara tidak lengkap, tidak meng­gali akar persoalan, hilang “why” (latar belakang)nya, dan bias pada suara minoritas elit (kalangan minoritas namun berada di kelas yang “powerful”). Mudah-muda­han kita, para konsumen media, lebih arif dalam memaknai infor­masi yag bersliweran di sekitar kita”.
Kebenaran memang belum tentu terungkap oleh pekerjaan jurnalistik. Namun proses kearah sana harus terus dilakukan. Dalam kasus konflik SARA belakangan ini, misalnya, media massa cend­erung semakin memanas-manasi dengan memilih narasumber yang tidak berwawasan damai, atau membiarkan persoalan berlarut-larut dengan tidak menggali ke akar persoalan.
Namun demikian, bila kita mengkaji secara mendalam, me­dia sebenarnya memang takkan pernah bisa netral, baik secara teoritis maupun praktis. Dalam Analisis Wacana, pemilihan atas peristiwa apa yang menjadi head­line, siapa yang menjadi nara­sumber, bahasa apa yang diguna­kan, atau sudut pandang apa yang dipakai dalam membaca fakta, semuanya adalah pilihan-pilihan yang tak terhindarkan oleh media yang bersangkutan.
Informasi yang disebarkan oleh media bukanlah informasi yang bebas. Fakta keras tak dapat berbicara. Ia hanya dapat bunyi ketika ia telah disentuh oleh me­dia atau wartawan. Dan ketika itu, netralitas yang disandang fakta keras tersebut seringkali, jika tidak selalu, terlepas oleh nilai-nilai yang dianut oleh wartawan atau media.
Banyak cara untuk memben­tuk opini atas berbagai fakta keras. Bias ini bisa disengaja maupun tidak. Yang pasti, ia sesuatu yang memang tidak terhindarkan. Per­soalannya ada pada bagaimana pemberitaan suatu media bisa diverifikasi, orientasi pada moral dan kerakyatan, dan menjaga in­terdependensi. Seharusnya, di sinilah peran media massa kita. Sebagai pilar keempat, media mestinya menyeimbangkan dan meluruskan keadaan yang njom­plang.[Jp008]

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan Komentar anda. Terima Kasih.
Redaksi Info Indonesia

 

Info Indonesia Copyright © 2009-2011 sofyan is Designed by stringer