JATIM- Gemuruh drama politik yang saling serang antara walikota Surabaya dengan DPRD kota, kini memulai babak baru perseteruannya, jika sebelumnya perang tanding melibatkan aksi- aksi demostrasi jalanan, dan saling serang melalui media massa yang dilakukan para serdadu intelektualnya.
Kini bola panas perseteruan itu menemui titik genting, rapat pansus mengusulkan pemberhentian walikota Surabaya Tri Rismaharini karena dianggap telah melanggar UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Enam dari tujuh fraksi yang ada pada tubuh DPRD Surabaya menyetujui rekomendasi pansus hak angket yakni pemberhentian Walikota Surabaya. Enam fraksi tersebut di antaranya Fraksi PKB, Fraksi Golkar, Fraksi Apkindo, Fraksi PDS, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PDIP. Sementara itu satu-satunya fraksi yang menolak rekomendasi pemberhentian Walikota adalah FPKS.
Banyak pihak telah menyayangkan konflik yang berlarut-larut walikota surabaya dengan DPRDnya, salah satunya wakil Gubenur Jatim, pria yang akrab dipanggil Gus Ipul, menyayangkan sikap Risma yang tidak cepat menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dikatakan “akselerasi yang dilakukan Risma terlalu lamban, harusnya bisa lebih cekatan," ujar Gus Ipul, di salah satu media.
Tapi nasi sudah jadi bubur, pansus telah merekomendasikan pencopotan Risma dari kursi walikota Surabaya. Sejatinya pasangan yang diusung PDIP Kota Surabaya ini sudah cukup ideal, kalau meminjam model tipe kepemimpinan Herbert Feith dalam bukunya “The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia” sosok wakil walikota Bambang Dwi Hartono dengan segenap ketrampilan politik dan pengalamannya sebagai walikota dua periode dapat digambarkan sebagai tipe solidarity maker, sebagai sosok pemimpin yang memiliki kecakapan mengelola dan organisator massa, sebagai manipulator symbol- symbol yang memadukan diantara anasir-anasir yang kelompok kepentingan. Jika menelisik jauh kebelakang sosok Bambang Dwi Hartono sejatinya mampu mengelola konflik secara elegant, diantara para tokoh PDIP Surabaya, Bambang dapat dikatakan sebagai tokoh yang paling senior, mengatasi konflik interest dialah jagonya, andai saja sosok yang satu cepat memainkan peranan, konflik perseteruan walikota dengan DPRD akan cepat selesai, menilik pengalamannya yang sudah teruji sekian puluh tahun.
Sementara Tri Rismaharini dapat dilekatkan sebagai tipe administrator, pemimpin yang memiliki ketrampilan teknis-administrartif yang diperlukan untuk menjalankan apparatus- apparatus dalam suatu Negara modern, dan karena itu sikap dan jiwanya tertuju pada “problem solving”. Birokrat yang satu ini layak disematkan sebagai seorang dengan model kepemimpinan administrator, pengalamannya selama puluhan tahun sebagai birokrat mengembangkan pribadinya untuk tampil sebagai administrator tulen, banyak kalangan sebenarnya menginginkan dia tekun bekerja, dan tidak terlibat terlalu jauh dalam domain politik yang bukan bidangnya.
Itulah pengadaian dalam level teoritis, akan tetapi dalam lapak politik ide-ide ideal itupun hancur berantakan, hari ini kita mendapati Bambang Dwi Hartono yang diam seribu bahasa, momentum yang seharusnya dia tambil ke permukaan dan dengan cepat menyelesaikan kemelut antar kelompok kepentingan tidak dia lakukan, bisa jadi diamnya Bambang karena domain politik yang menjadi perannya telah diambil alih Tri Rismaharini. Kalau kenyataan ini benar, tentu akan mengkonfirmasi bahwa sejatinya duet risma-bambang telah pisah ranjang.
Publikpun, mendapati sosok perempuan birokrat telah melangkah jauh dalam domain politik, terlalu kaku dalam bernegoisasi dengan partai- partai yang ada di perlemen, terlalu dominan dalam mengambil peran, tanpa mau berbagi peran dengan wakil walikota. Lihat saja kebijakan-kebijakannya yang dianggap mencederai wong cilik, kebijakan mengenakan pajak pada pedagang kaki lima, kenaikan pajak kos-kosan, kenaikan pajak reklame sampai 400%, pengetatan anggrana untuk posyandu dan PKK ini seakan-akan mengkonfirmasi bahwa Tri Rismaharini ini berjalan sendiri, andai saja dia berkonsultasi dengan partai yang mengusungnya pada saat pilwali kemarin PDIP, tentu saja kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat tidak akan sempat terlaunching di media massa, yang memicu kemarahan segenap kader, simpatisan PDIP kota Surabaya.
Duet yang terkenal dengan tagline “Not The Others” pada pilwali tahun lalu, ini akan menjalani hari-hari yang terjal, bila keduanya masih berjalan sendiri- sendiri, bisa saja pemakzulan ini tidak akan dikabulkan MA, tetapi bila dua orang ini masih bersikukuh dengan jalannya masing-masing, bukan tidak mungkin hari-hari kedepan akan semakin terjal, bahkan mungkin akan DPRD akan menyajikan pansus lain… kini kita berharap Bedeha sebagai solidarity maker memainkan peran yang gagah, dan risma sebagai administrator bekerja lebih giat lagi.,
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan Komentar anda. Terima Kasih.
Redaksi Info Indonesia