JAKARTA-Terkait dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi dimasyarakat beberapa waktu belakangan, yang telah memakan korban jiwa, maka dibutuhkan banyak pihak untuk saling menahan diri, dan saling menciptakan kembali kondisi yang harmonis antar pemeluk agama.
Salah satu pilar utama dalam membentuk opini publik adalah media baik elektronik maupun cetak. media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar. Dalam kaitannya peran dan fungsi media, dalam media memang memiliki kemampuan menciptakan image yang dahsyat. Dalam penciptaan image tersebut, biasanya beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan ini pada gilirannya membuat konsumen baik pemirsa atau pun pembaca tergerak melakukan sebuah tindakan tertentu atau sikap tertentu.
Dalam konteks kekerasan yang berbasis agama, terjadi selama ini media memiliki peran yang sangat penting. Contoh yang terjadi adalah ketika salah satu televisi swasta mengangkat kekerasanyang terjadi terhadap jemaah ahmadiyah menjadi pokok ulasan, dengan pemerintah diwakili menteri dalam negeri, serta lemhanas dan dari pihak FPI. Tetapi ketika ada dominasi versi terhadap perkara maka tujuannya akan mengarah atau begeser dari fokus semula yakni mencari solusi dari suatu pertikaian menjadi lain untuk berbicara tentang siapa siapa yang benar dan siapa yang salah.
Meski dalam dialog tersebut FPI terwakili untuk berbicara, namun pada kesempatan terpisah mereka menganggap bahwa dialog tersebut hanya memanas-manasi suasana bukan mencari akar persoalan nya.
Menurut Syahdan salah satu anggota FPI mengkritisi “dialog yang ada hanya berdebat siapa yang paling benar, dan malah justru mengadu domba kedua belah pihak karena pernyataan-pernyataan yang ada memanaskan suasana”.Ujarnya
Disisi lain menyitir pendapat Sirikit Syah (Ketua Lembaga Konsumen Media/ LKM-MediaWatch) menyatakan, “mestinya media massa terus mendorong pihak-pihak yang kompeten dan berotoritas, misalnya perguruan tinggi keislaman dan pemerintah, untuk menyelenggarakan diskusi terbuka tentang identitas dan status Ahmadiyah. Keberatan kalangan muslim fundamentalis kan karena Ahmadiyah mengaku Islam, namun menerapkan banyak hal yang tidak islami. Akar persoalan yang perlu digali oleh media massa (dengan mewawancarai sumber-sumber yang valid dan kredibel) adalah: benarkah Ahmadiyah itu islam? Apakah Ahmadiyah menodai agama?”
“Sayang, media massa lebih suka menampilkan narasumber yang berkonflik, yang belum tentu berkompeten dan berotoritas. Untuk menyuarakan Ahmadiyah, misalnya, narasumbernya dari Pemerintah, Komnas HAM dan para LSM pembela HAM. Persoalannya kemudian dibelokkan pada persoalan hak asasi manusia. Sama dengan kasus HKBP: persoalan digiring ke hak asasi manusia (dalam beribadah). Dua kasus yang amat berbeda akar persoalan dan berbeda latar belakang, oleh kalangan tertentu yang berkepentingan dan didukung media massa, digiring menjadi persoalan ancaman terhadap HAM di Indonesia”.
“Di sinilah tantangan bagi media, mayoritas media di Indonesia menyajikan konflik SARA secara tidak lengkap, tidak menggali akar persoalan, hilang “why” (latar belakang)nya, dan bias pada suara minoritas elit (kalangan minoritas namun berada di kelas yang “powerful”). Mudah-mudahan kita, para konsumen media, lebih arif dalam memaknai informasi yag bersliweran di sekitar kita”.
Kebenaran memang belum tentu terungkap oleh pekerjaan jurnalistik. Namun proses kearah sana harus terus dilakukan. Dalam kasus konflik SARA belakangan ini, misalnya, media massa cenderung semakin memanas-manasi dengan memilih narasumber yang tidak berwawasan damai, atau membiarkan persoalan berlarut-larut dengan tidak menggali ke akar persoalan.
Namun demikian, bila kita mengkaji secara mendalam, media sebenarnya memang takkan pernah bisa netral, baik secara teoritis maupun praktis. Dalam Analisis Wacana, pemilihan atas peristiwa apa yang menjadi headline, siapa yang menjadi narasumber, bahasa apa yang digunakan, atau sudut pandang apa yang dipakai dalam membaca fakta, semuanya adalah pilihan-pilihan yang tak terhindarkan oleh media yang bersangkutan.
Informasi yang disebarkan oleh media bukanlah informasi yang bebas. Fakta keras tak dapat berbicara. Ia hanya dapat bunyi ketika ia telah disentuh oleh media atau wartawan. Dan ketika itu, netralitas yang disandang fakta keras tersebut seringkali, jika tidak selalu, terlepas oleh nilai-nilai yang dianut oleh wartawan atau media.
Banyak cara untuk membentuk opini atas berbagai fakta keras. Bias ini bisa disengaja maupun tidak. Yang pasti, ia sesuatu yang memang tidak terhindarkan. Persoalannya ada pada bagaimana pemberitaan suatu media bisa diverifikasi, orientasi pada moral dan kerakyatan, dan menjaga interdependensi. Seharusnya, di sinilah peran media massa kita. Sebagai pilar keempat, media mestinya menyeimbangkan dan meluruskan keadaan yang njomplang.[Jp008]
Related Articles :
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan Komentar anda. Terima Kasih.
Redaksi Info Indonesia