Pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari utara yaitu AS dan Eropa ke Asia Timur (Tiongkok) dan Amerika Latin ditahun 2010 menciptakan peta baru dalam kekuatan ekonomi dunia. Krisis ekonomi global yang mendalam dan struktural juga terimplikasi di negeri ini. Tahun 2010 dapat dikatakan sebagai tahun kematian industri nasional. Beberapa jenis industri yang selama ini menjadi kekuatan terakhir, seperti industry kretek, baja, agribisnis, dan lain sebagainya telah mengalami kebuntuan produksi bahkan bangkrut.
Jika di masa sebelumnya, kebangkrutan hanya menghabisi perusahaan-perusahaan menengah dan kecil, maka di tahun 2010, korbannya sudah mencakup perusahaan-perusahaan besar. Di tahun 2006, Indonesia diperkirakan mempunyai 29 ribu perusahaan manufaktur skala menengah, tetapi sekarang jumlahnya tidak melebihi 27 ribu. Industri skala mikro dan kecil pun anjlok 2,1 persen hingga 5 persen.
Usaha mikro, kecil, dan menengah seperti diketahui bergantung pada dua hal, yaitu jaminan kredit dan kondisi pasar. Kenaikan harga BBM dan TDL beberapa waktu lalu yang juga diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) membuat usaha mikro, kecil, dan menengah Indonesia mengalami penurunan signifikan. Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sejak tahun 2010, diperkirakan mencapai 51 juta unit atau 99% dari total unit usaha yang ada. Ekonomi nasional kita yang mengarah ke arah liberalisasi, UMKM pun berguguran..
Hal tersebut dapat dilihat, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 51 juta atau 99% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB, sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Dalam hal pasar, ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.
Pasar rakyat, yang selama ini menjadi tempat bagi ekonomi mikro dan menengah memasarkan produknya, semakin terancam oleh ekspansi peritel raksasa modern, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven, Circle K, Lotte Mart, dan lain-lain. Peritel modern didukung oleh modal yang lebih besar, fasilitas, tekonologi, dan ruang yang strategis, sementara pasar rakyat identik dengan kumuh, semrawut, dan bau kurang sedap.
Jika pasar rakyat hancur, maka hal itu akan membawa konsekuensi luas, yaitu, pertama, menghancurkan produsen kecil, khususnya produk petani dan usaha kecil (mikro dan menengah), dan kedua, menyulitkan konsumen klas menengah ke bawah.
EL Hendrie.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan Komentar anda. Terima Kasih.
Redaksi Info Indonesia